Indonesia Membangun dari Pinggir Melalui Dana Desa

Desentralisasi seringkali dianggap sebagai cara terbaik guna mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Hal ini karena di tingkatan praksis, desentralisasi menyertakan prosedur guna mempertanggungjawabkan sumber kekuasaan yang berasal dari rakyat, pilihan strategi untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat, serta rangkaian mekanisme yang diatur secara absah mengenai cara terbaik untuk melayani kebutuhan rakyat (Juliantara dalam Erviantono, 2014). Desentralisasi menghargai keragaman di setiap komunitas lokal dan kondisi ini erat kaitannya dengan pemberdayaan sekaligus perwujudan nilai-nilai demokratisasi. Penyelenggaraan desentralisasi dipandang sebagai sebuah keharusan saat negara harus berhadap-hadapan dengan arus besar globalisasi yang menghendaki penanaganan masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan yang berpijak pada universalisme nilai-nilai demokrasi, seperti konsep penyelengaraan good governance. Globalisasi dipahami sebagai sebuah desakan pengaruh atau daya yang bergerak keatas meninggalkan bangsa dan komunitas lokal guna memasuki arena global, namun di sisi lain, juga mendorong kebawah, menciptakan tekanan-tekanan baru bagi otonomi lokal. Pada tataran inilah, globalisasi cenderung memicu kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai negara yang disertai merebaknya nasionalisme lokal guna merespon melemahnya negara bangsa yang lama (Giddens dalam Erviantono, 2014). Desentralisasi memberi wewenang pengambilan keputusan kembali pada ranah sub nasional atau lokal. Desentralisasi seakan bentuk counterpoint dari globalisasi. Desentralisasi memberikan peluang bagi komunitas lokal (indigenous people) menentukan kemandiriannya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, antara lain, akuntabilitas, efisiensi, transparansi kekuasaan, partisipasi masyarakat, pemerataan yang berkeadilan, serta pengoptimalan potensi sumberdaya lokal yang beragam.

Indonesia termasuk negara demokrasi yang juga menerapkan desentralisasi. Pada pemerintah Presiden Jokowi, desentralisasi tidak hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Pemberian wewenang lebih besar diberikan hingga tingkat desa. Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda utama pemerintahan Jokowi JK sebagaimana tercantum dalam Nawa Cita ketiga yaitu ”membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.  Untuk mewujudkan misi tersebut, salah satu kebijakan pemerintah yaitu Dana Desa. Berdasarkan penjelasan Pasal 72 hurub b UU No 6/2014, Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN, yang ditransfer melalui APBD kab/kota yang digunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan desa, pemberdayaan, pemerintahan desa, dan kemasyarakatan. Desa mempunyai wewenang untuk mengelola dana tersebut.
Desa merupakan unit pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Desa mempunyai peran yang strategis dalam bidang pembangunan dan pelayanan publik. Desentralisasi kewenangan-kewenangan lebih besar diberikan kepada desa beserta pembiayaan melalui kebijakan dana desa. Dengan kebijakan ini, diharapkan menjadi penguatan otonomi desa menuju desa mandiri.
Prinsip penggunaan Dana Desa tahun 2015 diatur dalam Permendes Nomor 5 Tahun 2015 yaitu diprioritaskan untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan desa. Penggunaan dana desa diutamakan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan lokal, dan diupayakan dengan banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat. Dasar hukum pelaksanaan Dana Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 yang kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2015. Menteri Keuangan juga menetapkan Permenkeu Nomor 93/PMK.07 tahun 2015 tentang tata cara pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pementuan, dan evaluasi Dana Desa. Sedangkan untuk mengimplementasikan Dana Desa di desa, ditetapkan Peraturan Bupati/Walikota sebagai pedoman teknis pelaksanaan.
Semenjak pelaksanaan dana desa tahun 2015, besaran dana mengalami kenaikan. Tahun 2016 dana desa dinaikkan jumlahnya menjadi Rp46,9 triliun, atau dua kali lipat lebih besar dibanding 2015 sebesar Rp20,7 triliun. Artinya, setiap desa akan mengelola uang secara mandiri sebesar Rp500-800 juta. Pemerintah memotong mekanisme pencairan 3 rahap pada tahun 2015 (40%;40%;20%) menjadi 2 tahap pada tahun 2016 (60%;40%). Bahkan, pemerintah sudah membuat rancangan, tahun 2017 dana desa dinaikkan lagi menjadi Rp81,1 triliun sehingga masyarakat desa sudah bisa mengelola dana desa lebih dari Rp1 miliar per desa. Berikut merupakan pengaturan besaran dana desa yang bersumber dari APBN bagi masing-masing desa


Kondisi desa di Indonesia tidaklah sama. Dengan menggunakan data sensus Potensi Desa (Posdes) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada April 2014,  berikut perbandingan antara Indeks Desa Membangun dengan Indeks Pembangunan Desa.


Menurut Indeks Desa Membangun jumlah desa kategori maju dan mandiri hanya sebanyak 3782 dari 73709 desa atau 5,13%. Menurut Indeks Pembangunan Desa jumlah desa kategori mandiri sebanyak 3022 dari 74093 desa atau 4,08%. Status desa yang dikategorikan maju dan mandiri masih menjadi bagian kecil dari desa-desa yang ada di Indonesia. Dengan adanya perbedaan ini, prioritas menggunakan dana desa seharusnya berbeda-beda. Desa maju dan mandiri yang cenderung sudah mempunyai infrastruktur yang memadai seharusnya diarahkan untuk pengembangkan potensi lainnya seperti perekonomian lokal.
Berikut prioritas pembangunan desa sesuai dengan status desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, desa berkembang, desa maju dan/atau desa mandiri:
1. Desa Tertinggal dan/atau sangat Tertinggal
 Sarana prasarana pemenuhan kebutuhan
Akses kehidupan masyarakat desa
2. Desa Berkembang
Sarana prasarana pelayanan umum dan sosial dasar pendidikan
Sarana prasarana pelayanan umum dan sosial dasar kesehatan
3. Desa Maju dan/atau Mandiri
Sarana prasarana yang berdampak pada ekonomi desa dan investasi desa
Prakarsa desa membuka lapangan kerja
Teknologi Tepat Guna
Investasi melalui BUMDes

Selain pembangunan sarana prasarana atau infrastruktur, prioritas lain dana desa adalah bidang pemberdayaan. Berikut prioritas pemberdayaan sesuai dengan masing-masing status desa:
1. Desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, mengutamakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada membuka lapangan kerja dan atau usaha baru, serta bantuan penyiapan infrastruktur bagi terselenggaranya kerja dan usaha warga atau masyarakat baik dari proses produksi sampai pemasaran produk, serta pemenuhan kebutuhan atau akses kehidupan masyarakat desa;
2. Desa berkembang, memprioritaskan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja dan atau proses produksi sampai pemasaran produk, serta pemenuhan kebutuhan atau akses modal/fasilitas keuangan;
3. Desa maju dan atau mandiri, mengembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang visioner dengan menjadikan desa sebagai lumbung ekonomi atau kapital rakyat, dimana desa dapat menghidupi dirinya sendiri atau memiliki kedaulatan ekonomi, serta mampu mengembangkan potensi atau sumberdaya ekonomi atau manusia dan kapital desa secara berkelanjutan.
Dana desa mempunyai potensi yang besar untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang merata. Namun, pada pelaksaan kebijakan tidak lepas dari tantangan dan kelemahan. Berikut adalah analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) pelaksanaan dana desa.
Strenght
Pemerintah desa dan masyarakat lebih mengetahai kondisi dan kebutuhan di wilayahnya. Pembangunan dapat memenuhi aspirasi masyarakat sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi. Kebijakan ini mengarah ke pembangunan yang lebih bersifat bottom up.
Dana stimulan untuk membentuk desa mandiri. Dana desa jika digunakan secara efisien dapat menjadi modal untuk mengembangkan potensi masing-masing. Tidak hanya untuk mengembangkan infrastruktur namun pemberdayaan untuk peningkatan sumber daya manusia dan pemanfaaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Weakness
Pendamping desa yang direkrut oleh pemerintah pusat  berasal luar desa bahkan dari daerah lain sehingga tidak memahami karakteristik, kendala, dan potensi desa setempat dengan baik.  Idealnya satu desa satu pendamping. Kenyataannya satu pendamping mendampingi sekitar 4 desa sehingga kurang fokus. Pendamping desa seharusnya mendampingi dari awal proses perencanaan hingga pelaporan namun kenyataannya banyak desa yang tidak mendapat pendampingan secara kontinue bahkan terkesan bekerja sendiri.
Sumber daya manusia lokal yang ahli di desa masih kurang apalagi di daerah tertinggal, terluar, terdepan (3T). Kebanyakan tingkat pendidikan di desa masih rendah. Dengan pendampingan yang masih kurang, faktor ini tentunya dapat menghambat  pelaksanaan dana desa. Aturan yang dirasa cukup rumit dapat membingungkan pemerintah desa sendiri. Bahkan ketidakpahaman terhadap aturan dapat menyebabkan penyimpangan aturan yang berujung tindak pidana.
Prioritas anggaran lebih ke infrastruktur , pemberdayaan kurang diperhatikan. Prioritas dana desa 2015 dan 2016 lebih ke arah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur merupakan cara yang paling mudah untuk menghabiskan anggaran. Pemanfaatan Dana Desa dititikberatkan pada pembangunan fisik. Pada tahun 2015 sebesar 75,2% sedangkan 2016 sebesar 70%, sisanya pembangunan nonfisik. Banyak desa yang kurang memerhatikan sisi prioritas pemberdayaan.  Padahal pemberdayaan potensi lokal cara yang ampuh untuk mewujudkan kemandirian desa. Selain itu, pembangunan infrastruktur misalnya jalan yang mempunyai ketentuan relatif rumit dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat sehingga harus melibatkan pihak ketiga. Ini dapat mengurangi nilai gotong royong yang ada dalam masyarakat.
Tidak semua dana telah dicairkan ke desa, masih ada yang tertahan di tingkat Kabupaten/Kota. Hingga September 2016, pencairan dari pusat ke Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar Rp27,8T (98,73%). Sedangkan dari Kabupaten/Kota ke rekening desa telah tersalurkan sejumlah Rp 19,1T (68,8%). Pencairan tahun kedua pun saat ini mencapai Rp5,2T (11,2%).
BUMDes kurang dikelola secara maksimal.  Masyarakat desa cenderung dalam kondisi keterbatasan modal, keterampilan dan pengetahuan yang rendah, minim kesempatan dan akses dan lain-lain. Dengan keadaaan ini, BUMDes seringkali dikuasai oleh pihak-pihak tertentu misalnya juragan yang mennguasai bisnis di desa tersebut.
Opportunity
Dana desa diberikan ke seluruh desa di Indonesia dengan jumlah yang hampir sama. Kebijakan ini berpeluang mewujudkan pembangunan yang lebih merata ke seluruh Indonesia dan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa.
Globalisasi yang menarik setiap daerah mempunyai ciri khas yang membuat desa berbeda dengan lainnya. Potensi khas jika dikelola dengan baik dapat menjadi modal untuk pengembangan desa misalnya produk-produk lokal dan pariwisata yang ada di desa.
Threat
Karakteristik desa-desa di Indonesia sangat beragam. Pemerintah harus mampu membuat peraturan yang mewadahi keberagaman ini.
Jika pengawasan kurang dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/ kota maupun masyarakat kurang maka dana desa berpotensi untuk di korupsi. Jumlahnya yang cukup besar dan desa banyak yang belum berpengalaman mengelolanya dapat menjadi ancaman. Pada bulan Juni 2015, KPK membeberkan potensi-potensi korupsi yang ada pada dana desa ini. Potensi korupsi tersebut meliputi empat aspek yaitu aspek regulasi dan kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan, dan aspek sumber daya manusia.  Dari aspek regulasi dan kelembagaan, regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang belum lengkap merupakan potensi korupsi dalam dana desa ini. Dari aspek tata laksana,  kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa  dan satuan harga baku untuk patokan bagi desa untuk menyusun APBDes yang belum tersedia menjadi potensi korupsi. Dari aspek pengawasan, efektivitas perangkat daerah dalam melakukan pengawasan yang masih rendah ditambah dengan kurang baiknya saluran pengaduan masyarakat dianggap sebagai potensi korupsi. Dari aspek sumber daya manusia, ada peluang tenaga pendamping malah melakukan korupsi atau penipuan memanfaatkan lemahnya anggota perangkat desa. Banyaknya potensi korupsi membuat kebijakan dana desa tahun depan harus dievaluasi lagi agar “lubang-lubang” potensi korupsi bisa ditambal.
Melihat pelaksanaan dana desa pada tahun 2015 dan 2016, berikut beberapa rekomendasi untuk kebijakan dana desa tahun berikutnya.
Satu desa satu pendamping. Pendamping adalah orang lokal yang  berasal desa tersebut. Kalaupun tidak sumber daya manusia di desa itu tidak memungkinkan maksimal masih berasal dari kecamatan yang sama. Pendamping diwajibkan untuk mengetahui seluk beluk desa dan mampu mendampingi secara kontinue dalam setiap tahapan.
One Village One Product (OVOP).  Dana desa sebagai modal membangun perekonomian di desa dengan memanfaatkan potensi lokal misalnya dengan mengangkat produk unggulan. OVOP ini mempunyai tiga prinsip. Pertama, think global act local, kedua kemandirian dan kreativitas, ketiga pengembangan sumber daya manusia. Melalui pemberdayan ini ditumbuhkan inisiatif dan kemandirian masyarakat serta mengurangi ketergantungan pada pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dengan tumbuhnya perekonomian desa dapat mengatasi urbanisasi ke kota yang menyebabkan kepadatan di kota dan kekurangan penduduk usia produktif di desa. Lembaga BUMDes dapat dikembangkan untuk menjalankan konsep ini dengan melibatkan masyarakat desa secara luas bukan hanya pihak-pihak tertentu saja..
Desentralisasi memberi kewenangan desa untuk merencanakan, melaksanakan dan melaporkan kinerja pemerintah desa. Dengan besarnya dana yang mengalir ke desa, desa perlu disiapkan agar program ini berjalan secara efektif dan efisien. Pemerintahan pusat dan kabupaten/kota lebih memberikan pendampingan dan pengawasan. Jika saja program dana desa ini dijalankan dengan sukses maka tingkat desa mandiri di Indonesia akan meningkat dan ketergantungan terhadap pemerintah dapat berkurang.



Daftar Pustaka

http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kebijakan-strategis-transfer-ke-daerah-dan-dana-desa-2016 diakses pada tanggal 15 Desember 2016 pukul 15.00
http://himiespa.feb.ugm.ac.id/sudah-baguskah-pengalokasian-dana-desa/ diakses pada tanggal 15 Desember 2016 pukul 15.00
http://www.banyumaskab.go.id/read/15722/kebijakan-alokasi-dana-desa-add-dan-penguatan-otonomi-desa diakses pada tanggal 15 Desember 2016 pukul 15.00
http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/03/01.-KEBIJAKAN-DANA-DESA-dan-ADD-2016_Kemenkeu.pdf diakses pada tanggal 14 Desember 2016 pukul 06.00
http://news.okezone.com/read/2016/02/28/337/1323286/marwan-sebut-dana-desa-kebijakan-radikal-pemerintahan-jokowi diakses pada tanggal 15 Desember 2016 pukul 15.00
Erviantono, Tedi. 2014. Desentralisasi, Modal Sosial dan Kelembagaan Lokal Penanganan Konflik Pelanggaran Hak Cipta oleh Asosiasi Pengrajin Cor Patung Kuningan Bejijong Kabupaten Mojokerto melalui Instrumen Self Regulation Perdes No. 6 Tahun 2008, Universitas Udayana: Bali. http://an.fisip.unud.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/Artikel-Penelitian-Desentralisasi-Modal-Sosial-dan-Kelembagaan-Lokal-Asosiasi-Pengrajin-Cor-Kuningan-melalui-Perdes-No.-6-Tahun-2008.pdf
Listiyani, Rini dan Argo Pambudi. Efektivitas Implementasi Kebijakan Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2015 di Desa Gunungpring Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/adinegara/article/download/2502/2150
#KE2JANYATA 2 TAHUN KERJA NYATA JOKOWI JK. www.kerjanyata.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliner di Jalan Alor, Kuala Lumpur

Car Free Day Antara Olahraga dan Wisata Kuliner

Wisata Keluarga ke Pantai Suwuk, Kebumen