Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Belajar Jepang untuk Membangun Indonesia

Gambar
22 tahun lalu, tepatnya 28 Mei 1993, saya dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah. Saya berasal dari keluarga sederhana yang penuh kasih sayang. Ketika saya kecil kami masih mengontrak rumah yang belum terdapat listrik saat itu. Saat saya duduk di kelas 2 SD, keluarga kami pindah rumah kontrakan yang lebih dekat dengan tempat kerja ibu. Baru ketika kelas 4 SD, keluarga kami pindah ke rumah sendiri di Dukuh Pejaten, Desa Tanjungsari, Petanahan, Kebumen. Beberapa kali pindah rumah sewaktu kecil membuat saya lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Latar belakang profesi keluarga ayah di Kebumen kebanyakan pendidik. Kakek saya adalah pensiunan guru SD, ayah saya pamong belajar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), ibu saya guru SMK, om dan tante juga seorang guru. Mereka sangat mendukung pendidikan saya. Lulus SD, saya bersekolah di SMPN 1 Kebumen yang letaknya di pusat kota yang berjarak sekitar 15 km dari rumah. Saya harus naik sepeda sampai jalan yang dilalui angkot karena tidak

Budaya Miskin, Adakah di Dirimu?

             Budaya miskin belum tentu tidak dimiliki oleh orang yang kaya harta. Belum tentu tidak dimiliki oleh lulusan S2 bahkan S3. Mungkin saja budaya miskin saat ini ada di dalam dirimu tetapi kamu belum menyadarinya. Nah, sebenarnya apa itu budaya miskin?              Budaya miskin mencerminkan putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa musthail dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas. Sedangkan Oscar Lewis mendefinisikan budaya miskin sebagai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja  dan sebagainya. Pandangan lain mengenai budaya miskin menurut Mudjahirin Thohir adalah ada kaitannya dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu   cara pandang  jabariyah , di mana keberadaan diri (jatuh miskin)  dilihat sebagai takdir bukan karena  b

Pengemis Tua

Saat bersih-bersih, tidak sengaja ditemukan sebuah kliping puisi. Puisi yang berjudul Pengemis Tua tersebut ditulis saat saya duduk di kelas 6 SD (2004/2005). Ini puisi pertama saya yang berhasil muat di Tabloid Yunior atau koran Suara Merdeka edisi anak yang terbit di hari Minggu. Semoga puisi lama ini semakin membuat saya bersemangat menghasilkan tulisan yang dapat dimuat di berbagai media. Pengemis Tua Pengemis tua itu masih ada Selalu... Mengharap belas kasih sesama Walaupun terik matahari Serasa memanggang tubuh Jika malam tiba Tidur di bawah jembatan Beralaskan kardus bekas Berselimut malam Kehidupan ini dijalani Dengan sabar Sampai darah berhenti mengalir

Sekilas Cerita Menuju Sarjana

Gambar
Awalnya saya tidak berniat masuk Universitas Indonesia. Kampus di wilayah Yogyakarta atau Jawa Tengah menjadi pilihan saya. Orang tua awalnya juga tidak mendukung untuk kuliah terlalu jauh. Namun, setelah berkenalan dengan beberapa mahasiswa UI dan mengobrol mengenai hal-hal yang akan dipelajari di tanah rantau sana, saya kembali berpikir untuk memilih Universitas Indonesia menjadi pilihan studi saya. Setelah mendapat restu orang tua, saya memberanikan diri memilih Universitas di SNMPTN Undangan 2011. Saya memilih program studi Jepang Universitas Indonesia sebagai pilihan pertama. Kenapa Program Studi Jepang? Saya mendapat pelajaran bahasa Jepang selama dua tahun di SMA sehingga Ayah saya merekomendasikan jurusan tersebut. Beliau menolak saya mengambil jurusan yang berhubungan dengan ekonomi karena mainsteam katanya. Selain itu, saya juga kagum dengan budaya dan etos kerja orang Jepang. Alhamdulillah, saya diterima di Program Studi Jepang melalui SNMPTN Undangan 2011. Perjuangan sel

Masyarakat Juga Dapat Berperan Dalam City Branding

American Marketing Association menyatakan brand adalah kumpulan citra ( image) dan ide yang merepresentasikan pengalaman konsumen mengenai produk. Branding saat ini tidak hanya untuk produk dan perusahaan namun telah diaplikasikan juga ke tempat atau yang dikenal dengan place branding atau branding tempat. Erik Braun (2011) mengatakan bahwa city branding bagian dari place branding (branding tempat). Dalam prakteknya, place branding dapat diaplikasikan pada lingkungan sekitar, distrik, destinasi wisata, kota, area pedesaan, regional, negara bagian, negara. Place branding saat ini merujuk pada praktik mengaplikasikan strategi pemasaran dalam tuntutan membedakan kota dengan kota lain, regional dengan regional lain, negara dengan negara lain dalam kompetisi ekonomi, sosial, politik, dan aspek budaya ( Kaplan, et. al, 2008) .   Upaya pemasaran pariwisata melalui branding secara maksimal tidak hanya oleh pemerintah pusat namun hingga tingkat regional bahkan kota. Dalam proses glo

Mulai Mengenal City Branding

Gambar
Keller dalam Rajeet et.al. (1996) mengatakan bahwa suatu brand memiliki kekuatan ( brand equity ) jika pengetahuan yang dimiliki konsumen terhadap produk tersebut memiliki familiaritas yang besar, unik dan disukai serta mampu membawa pada preference (kesukaan pada brand ) yang besar pula. [1] Brand equity dalam perspektif konsumen terdiri dari dua bentuk pengetahuan tentang brand yaitu kesadaran brand ( brand awareness ) dan citra brand ( brand image ). Kesadaran brand didefinisikan sebagai kemampuan potensial pembeli untuk mengidentifikasi ( recognize atau recall ) suatu brand dalam kategori produk tertentu dalam detail yang cukup untuk melakukan suatu pembelian. [2] Menurut Aaker (1996), kesadaran akan brand mencerminkan pengetahuan dan hal penting dari brand tertentu yang tertanam di benak konsumen. [3] Keller dalam Lee, C. J. (2014 ) berargumentaasi brand recognition adalah kemampuan konsumen mengenali brand yang diperlihatkan sebelumnya berdasarkan petunjuk brand