Review Buku Esai-Esai Untuk Negeri
“Untuk Laras Wijayanti. Dengan
membacanya, Anda menghargai proses buku
ini” ditulis langsung oleh Romo Mudji Sutrisno, penulis buku ini. Membaca buku
esai-esai untuk negeri membuat saya banyak merenung. Merenung mengenai hal-hal
yang terjadi di sekitar saya yang terkadang tidak disadari maknanya. Saya
kembali menanyakan diri saya apakah nilai-nilai hidup yang baik sudah meresap
dalam diri saya. Ada berbagai esai yang menarik perhatian saya untuk
meresapinya lebih dalam. Pada review ini, saya menuliskan bab-bab yang membuat
hati saya paling tertarik untuk merenungkan.
Etika merupakan pedonan
hidup baik dan berharga yang menciptakan keharmonisan antara manusia dan alam.
Etika sebagai pedoman hidup dapat jumpai melalui melalui ungkapan-ungkapan
bermakna life wisdom (kearifan-kearifan
hidup). Life wisdom ini dapat kita
temui pada peribahasa, pantun, gurimdam, petatah, cerita-serita atau narasi lokal,
tarian, nyanyian. Nusantara sejak dulu sebenarnya kaya akan kearifan-kearifan
lokal yang bernilai estetis. Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang
estetis dan religius. Estetis karena menghayati hidup lewat tarian, nyanyian
ataupun kesenian lainnya. Religius karena proklamasi kemerdekaan dinilai
sebagai berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Estetika muncul ketika
menghayati kehidupan dan apa-apa yang dialami sebagai sesuatu yang indah dan
mulia. Berbagai orang mengungkapkan dengan cara masing-masing. Pelukis
menuangkan penghayatannya dengan warna-warna yang dilukiskan di atas kanvas.
Penari melukiskan mulianya kehidupan dengan alam dan manusianya melalui
gerakan-gerakan tari. Pemusik menuliskan suara-suara alam dan kehidupan yang
indah melalui musiknya. Penenun kain
mengungkapkan dengan tenunan-tenunan kain yang mempunyai komposisi warna begitu
indah. Mensyukuri kehidupan yang dijalani salah satunya melalui seni dapat
membuat keharmonisan hidup semakin indah.
Terdapat tiga lapisan
falsafah Jawa mengenai menghayati kehidupan. Lapisan pertama mengenai cara
pandang asal muasal manusia dan kemana manusia akan menuju atau dalam istilah
Jawa dikenal “Sangkan Paraning Dumadi”. Lapisan kedua memuat acuan dan tindakan
baik akan melawan tindakan jahat yang akan mendapat balasan dari perbuatan yang
dilakukannya sendiri. Kebaikan akan dapat mengalahkan kejahatan sehingga
keadaaan kacau balau dapat ditata dan
keharmonisan serta keselarasan hidup dapat kembali dipulihkan. Lapisan ketiga
adalah jalan sunyi yang ditempuh untuk mencari kebahagian sejati dengan
bersatunya manusia (kawula) dengan Tuhannya (Gusti) atau Manunggaling Kawula Gusti.
Religi bersumber pada
Tuhan maka berciri impersonal, objektif, dan universal. Sedangkan interpretasi
manusia terhadap religi bersifar personal, subjektif dan unik. Tuhan menyayangi
makhluknya seperti matahari yang tidak pilih kasih memberikan sinarnya.
Kasihnya tidak terbatas dan tidak menghitung untung rugi serta tidak
memperhatikan siapa lawan dan siapa kawan. Manusia memuliakan Tuhan dengan
caranya yang masing-masing yang unik. Seniman, penyair, penari , dan kita semua
mempunyai pengalaman religius masing-masing. Perbedaan itu sebenarnya semakin
memperindah kehidupan kita bukan untuk menjadi bahan pertengkaran dan permusuhan.
Banyak orang yang beragama namun sebagai having
religion. Dalam menghayati hidup, kita semua seharusnya being religious. Perbuatan kita
seharusnya mencerminkan kita sebagai umat beragama. Agama bukan hanya simbol
yang dicantumkan dalam kartu identitas semata.
Seni dapat menjadi
sarana kita dalam menghayati kehidupan, merenungi apa-apa saja yang terjadi
dalam hidup. Ada makna dalam karya seni yang diciptakan melalui perenungan
senimannya. Karya seni juga dapat menjadi media dalam menyampaikan kritik misalnya
melalui puisi, prosa, teater maupun lainnya. Namun, ada fenomena yang mempunyai
miris mengenai karya seni patung. Orang-orang yang mempunyai jasa besar seringkali
dibuatkan patung sebagai simbol mengenangnya. Namun, kita terutama generasi
muda seringkali lupa makna di balik patung itu. Kita seringkali lupa mengenai
kenapa sosok tersebut dibuat patungnya dan apa jasa-jasanya sehingga proses
pembelajaran makna dari patung tersebut tidak tercapai. Patung tersebut bisa
hanya formalitas atau pajangan di tempat umum. Perasaan miris muncul ketika
mengetahui nasib museum yang tidak dikelola dengan baik. Museum yang sepi
kunjungan merupakan masalah klasik dalam negeri ini. Pemaknaan benda-benda
bersejarah masih kurang. Benda-benda tersebut tidak terurus dengan baik. Bahkan
terdapat museum yang beralih fungsi menjadi kantor sehingga benda-benda penuh
makna di dalamnya pun terlantar. Penghargaan terhadap makna sejarah memang masih
minim di masyarakat kita.
Bagi saya, kata maaf
sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Membaca esai berjudul Pendangkalan
Kata Maaf membuat saya menyadari penggunaan kata maaf seharusnya ada makna
ketulusan yang dalam. Mungkin kita tidak asing dengan kata-kata “Mohon maaf
perjalanan Anda terganggu sedang ada penggalian kabel listrik sintesis. Mohon
maaf atas kekurangnyamanan Anda”. Namun sayangnya, bahkan orang yang memasang
ataupun membuat tulisan ini tidak merasa benar-benar meminta maaf. Seringkali
kata maaf disini hanya untuk sekedar basa-basi ataupun formalitas. Makna kata
maaf yang mendalam dan penuh penyesalan telah mengalami pendangkalan makna. Makna
maaf mengalami pendangkalan dalam tiga tahapan. Pertama, ketika kata maaf hanya
untuk basa-basi di wajah namun dalam hati sebenarnya tidak ada ketulusan.
Kedua, penggunaan kata maaf sengaja hanya digunakan untuk formalitas
mengalihkan rasa marah dan protes terhadap pelaku atau instansi yang tidak
berani bertanggungjawab atau menunda pertanggungjawaban atas kesalahan yang
dilakukannnya. Ketiga, puncak ketidakpedulian jika ada korban meninggal akibat
peluru nyasar saat aparat sedang latihan tempat ataupun mengejar pelaku
kejahatan. Apalagi jika korban peluru nyasar tadi anak kecil tidak bersalah
yang sedang bermain, tentunya hati nurani kita akan merasa sangat kasihan.
Jangan sampai kata maaf hanya kita gunakan sebagai topeng untuk menutupi
ketidakpedulian atau keengganan untuk bertanggungjawab atas kesalahan.
Mental
block atau hambatan pertumbuhan psikis
manusia mungkin tanpa disadari ada di alam bawah sadar manusia. Mental block ini mempunyai manusia tidak
optimal dalam menjalani hidupnya. Hambatan mental itu dapat berasal dari
pengalaman tidak menyenangkan sewaktu kecil yang tertanam di alam bawah sadar.
Pengalaman tidak menyenangkan itu dapat menghalangi ketika seseorang ingin maju
berkembang. Penyembuhannya dilakukan dengan membawa pengalaman tersebut ke
kesadaran dan mampu menerima serta mengolahnya. Sigmund Freud seorang
psikoanalisa yang berjasa dalam mencari hambatan psikis ketika ego sadar
menyikapi larangan-larangan, boleh atau tidak boleh yang dikenal dengan super
ego dan hasrat ID yang minta dipenuhi namun terhalang oleh nilai dan norma.
Jika norma-norma dilanggar dapat menimbulkan rasa bersalah. Masyarakat
berbudaya yang peka akan rasa bersalah di sebut quilt society dalam quilt
culture. Sementara masyarakat yang belum mengembangkan ego sadar mamun
mempunyai rasa malu sebagai sanksi kolektif dikenal dengan shame society dalam ranah shame
culture. Untuk menghadapi rasa salah (quilt
feeling) dan rasa malu (shame feeling)
melalui pendidikan kesadaran yang dapat menghancurkan mental block, membawa
kepada kesadaran kita mampu menerima dan sadar untuk mampu melangkah maju tanpa
dihalangi lagi oleh mental block tadi. Pendidikan menjadi jalan penting dalam
menyelesaikan masalah ini.
Indonesia merupakan
negara yang berbeda-beda suku dan agama. Kearifan dan kebijaksanaan lokal yang
beragam menjadi kekayaan Indonesia. Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan yang
asing bagi masyarakat Indonesia. Kita patut menghargai dan mengikuti prinsip
yang dituliskan pendiri bangsa ini dalam dasar negara Pancasila yaitu
musyawarah untuk mufakat bukan keputusan voting atau pemungutan suara. Keputusan
yang diambil tidak bisa tidak mempedulikan kondisi perbedaan dalam masyarakat
kita. Melalui musyawarah kita belajar untuk menghargai dan menerima perbedaan.
Kita juga belajar memperjuangkan apa yang kita pikirkan namun mampu juga
menerima pandangan orang lain. Demi kepentingan bersama dan kesejahteraan
bersama, kita harus mampu menurunkan ego agar keputusan yang diambil setidaknya
mempunyai kekurangan yang paling sedikit. Demi keputusan publik yang diambil
tidak selayaknya jika berebut panggung. Kerelaan berbagi panggung dibutuhkan
agar tidak merasa paling benar demi kebaikan bersama.
Kenapa keputusan mengenai
kebenaran tidak bisa divoting? Kebenaran yang paling utuh hanya kebenaran milik
Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran-kebenaran manusia itu bersifat parsial, relatif
dan berlapis-lapis. Kepentingan manusia itu bermacam-macam. Politik tanpa etika
mengenai mufakat dan acuan nilai yang benar , baik (etika), suci (religius),
dan indah (estetika) akan melupakan indahnya menghormati dalam keberagaman dan
melupakan perjuangan akan kepentingan bersama. Alasan proses sejarah dari
bangsa Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa lepas
dari keberagaman. Indonesia ingin terus memperjuangkan adil dan beradab bagi
seluruh bagian bangsa.
Afriani adalah pelukis
perempuan yang melukiskan perjuangan rakyat kecil yang menderita namun pantang
menyerah menjalani hidup ke kanvas-kanvasnya. Lukisan-lukisan hasil karyanya
mampu menyentuh hati yang melihatnya. Siapapun berhak menjadi pemenang terbaik
rakyat kecil yang berjuang hidup. Dari sosoknya, kita belajar be winner qualitatively jadilah pemenang
kehidupan secara berkualitas dibahasakan dalam 3 ziarahnya. Pertama, Keimanan
untuk percaya diri menghayati dan memaknai perjalanan lukisan dan hidupnya
sebagai takdir pemenang dengan yakin melangkah maju memaknai kehidupan. Kedua,
Afriani merasa sadar dalam menjalani hidup harus berani untuk ,emdobrak
tradisi. Ketiga, proses bangkit dari kepompong untuk keluar menjadi kupu-kupu
yang terbang dengan kesetiaan dan kebebasan berjuang dan mengajak rekan-rekan
untuk bersama berjuang demi tanah air Indonesia.
Kita mampu merenung
dengan melihat sekitar misalnya ketika naik KRL. Saat kereta sedang ramai, banyak
orang pura-pura tidur atau pura-pura tidak tahu ketika melihat orang yang lebih
membutuhkan tempat duduk. Mereka enggan untuk berbagi tempat duduk. Apakah kita
termasuk di dalamnya? Kita dapat tahu peran ibu yang sangat besar dalam
menanaman nilai ketika melihat ibu dengan sabar menjelaskan hal-hal di kereta
kepada anaknya.
Ketika membaca bab
reuni, saya diingatkan hidup itu bagai roda yang berputar, adakalanya di atas
adakalanya pula di bawah. Untuk mengembangkan diri secara maksimal membutuhkan
lingkungan yang mendukung. Namun, mentalitas kita pribadi juga menentukan
bagaimana perjuangan kita meraih kesuksesan. Ketika pada suatu titik
kesuksesan, jika dilihat kembali banyak orang bahkan orang-orang di masa lalu
yang berkontribusi dalam perjalanan hidup kita. Karena kasih sayangNya, kita
mampu mencapai apa yang kita harapkan. Kita membutuhkan saat-saat hening di
tengah rutinitas untuk merenungi pengalaman-pengalaman hidup berkat kasihNya. Saya
teringat kata-kata bijak dalam buku ini “ada waktu untuk menanam, ada waktu
untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk berpulang. Semua
ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada waktunya.”
Komentar
Posting Komentar