Mulai Mengenal City Branding
Keller
dalam Rajeet et.al. (1996) mengatakan bahwa suatu brand memiliki kekuatan (brand
equity) jika pengetahuan yang dimiliki konsumen terhadap produk tersebut
memiliki familiaritas yang besar, unik dan disukai serta mampu membawa pada preference (kesukaan pada brand) yang besar pula.[1]Brand equity dalam perspektif konsumen
terdiri dari dua bentuk pengetahuan tentang brand
yaitu kesadaran brand (brand awareness) dan citra brand (brand image). Kesadaran brand
didefinisikan sebagai kemampuan potensial pembeli untuk mengidentifikasi (recognize atau recall) suatu brand dalam kategori produk
tertentu dalam detail yang cukup untuk melakukan suatu pembelian.[2]
Menurut Aaker (1996), kesadaran akan brand
mencerminkan pengetahuan dan hal penting dari brand tertentu yang tertanam di benak konsumen.[3]
Keller dalam Lee, C. J. (2014)
berargumentaasi brand recognition adalah
kemampuan konsumen mengenali brand
yang diperlihatkan sebelumnya berdasarkan petunjuk brand, atau mengenali brand yang dilihat atau didengar di masa
lalu. Brand recall adalah kemampuan
konsumen untuk menyebutkan kembali koneksi brand
di memorinya ketika diberi klasifikasi produk dan mengingat dengan benar
kekuatan brand dalam kategori produk
tertentu. Brand image merupakan jenis asosiasi atau
citra yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah brand tertentu.[4]
Konsep branding ini diaplikasikan
juga pada kota atau yang dikenal dengan city
branding.
Erik Braun (2011) mengatakan bahwa city branding bagian dari place branding (branding tempat). Banyak
peneliti mencatat bahwa place marketing
(pemasaran tempat) dan place branding (branding tempat) dapat berbeda jenis
tempatnya dan berbeda skala spasial (Ashworth dan
Voogd, 1990; Kotler et al, 1999; Van den Berg dan Braun, 1999;
Kavaratzis, 2008; Ashworth dan Kavaratzis, 2009). Dalam prakteknya, place branding dapat diaplikasikan pada
lingkungan sekitar, distrik, destinasi wisata, kota, area pedesaan, regional,
negara bagian, negara.[5]
Place
branding saat ini merujuk pada praktik mengaplikasikan strategi
pemasaran dalam tuntutan membedakan kota dengan kota lain, regional dengan
regional lain, negara dengan negara lain dalam kompetisi ekonomi, sosial,
politik, dan aspek budaya (Kaplan, et. al,
2008).[6]
Alasan utama
kota menggunakan pemasaran dan branding tetap
sama yaitu kompetisi di antara kota-kota untuk menarik wisatawan, pebisnis,
penduduk, dan target grup lainnya (Van den Berg
dan Braun, 1999 ; Medway dan Warnaby, 2008 ; Zenker, 2009). Braun
mengidentifikasi empat kategori konsumen kota yaitu penduduk, perusahaan,
wisatawan, dan investor.[7]
Keith Dinnie, Associate Professor di Temple
University Japan dan Director of the
Centre for Place Brand Management (sebelumnya, the Centre for City Branding) dalam Barrows (2014)
mendeskripsikan city branding sebagai
penggunaan dan pengaplikasian branding
yang berasal dari dunia komersil ke dalam pembangunan kota, regenerasi, dan
kualitas hidup. Pembuat kebijakan harus
mampu menentukan identitas dan aspek fokus branding
yang dapat menjadi daya tarik banyak pihak. Penentukan sebuah identitas dan
brand membutuhkan keterlibatan
komunitas. Keterlibatan pihak terkait dengan imajinasi dan pikiran terbuka
merupakan hal penting untuk identifikasi dan penentuan spesifik brand yang tepat untuk mengekspresikan
dengan efektif karakter unik sebuah kota. [8]
Sejak
banyak kota mempunyai karakteristik yang mirip untuk ditampilkan, city branding diciptakan untuk membuat
identitas unik yang membedakan satu kota dengan lainnya. Pemerintah kota
mempunyai aspirasi masing-masing dan bertanggungjawab untuk implementasikannya
ke dalam city branding. Selain itu, orang-orang menyampaikan pengalamannya
terhadap kota dalam berbagai kesempatan dan berbagai bentuk. Orang-orang
biasanya menerjemahkan evaluasi dan judgments
mereka ke dalam identitas kota yang dipahami masing-masing orang. Oleh
karena itu, city branding sebaiknya
menyampaikan baik tujuan pemerintah kota maupun pengalaman dari orang-orangnya
(Wang, et. al, 2012). [9] Branding yang baik mempunyai kesesuaian
antara tujuan pemerintah dan pengamalan orang-orang mengenai kota tersebut.
Kesesuaian antara branding dengan apa
yang ada di kota tersebut diperlukan agar branding
dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada di kota tersebut.
Saxone
Woon dalam Harahap (2008) menyatakan bahwa brand tidak sekedar nama,
logo atau citra grafis. Brand mengkomunikasikan secara jelas suatu
produk, jasa, atau sesuatu hal yang lain. Ketika brand dikaitkan dengan
sebuah kota, maka brand tersebut harus bisa mengkomunikasikan dengan
jelas seperti apa kota tersebut, apa saja yang dimilikinya, dan mengapa kota
tersebut patut mendapat perhatian, sehingga siapapun yang bertandang ke kota
tersebut atau penduduk kota itu dapat memaparkan secara singkat citra kota
tersebut.[10]
[1] Rajeev, Batra, Myers &
Aaker. (1996). Advertising Management
(4th Edition). New Jersey: Prentice Hall, Inc, hlm. 220
[2] Rossiter, John R. (1987). Advertising and Promotion Management.
New York: McGraw-Hill, hlm. 219
[3] David Aaker. (1996). Building Strong Brands. New York: The
Free Press, hlm. 330
[4] Lee,
C. J. (2014). Effects of sport
mega-events on city brand awareness and image: using the 2009 world games in
Kaohsiung as an example. Quality
& Quantity, 48(3),
1243-1256.
[5] Braun, Eric. (2011). Putting City Branding into Practice. Journal of Brand Management, Vol. 19,
hlm. 258
[6]
Kaplan, et. al. (2010). Branding Place:
Applying Brand Personality Concept to Cities. European Journal of
Marketing, Vol. 44, No. 9/10, hlm. 1289
[7] Braun, Eric. (2011). Putting City Branding into Practice. Journal of Brand Management, Vol. 19,
hlm. 258
[8] Barrows, Lissa. (2014). Planning
With Character: Gotouchi Kyara and Place Branding in Japan. Thesis of Science in Urban
Planning, Faculty of Architecture and Planning, Columbia University, hlm. 6
[9]
Wang, et.al. (2012). Mega-events and City Branding: A Case
Study of Shanghai World Expo 2010. Journal of
US-China Public Administration, Vol. 9, No. 11, hal 1285
[10] Harahap, Muhith Afif Syam, 2008,
“Eksistensi City Branding Menurut UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi
Kasus “Semarang Pesona Asia” Di Kota Semarang). Tesis Universitas Diponegoro
Komentar
Posting Komentar