Malala, Kandidat Nobel Perdamaian Termuda
Saya mengenal sosoknya lewat media sosial sejak dua tahun lalu. Malala, sosok aktivis perempuan yang menjadi kandidat peraih
Nobel Perdamaian termuda ini sangat menginspirasi. Kondisi perang di negaranya tidak menyurutkan semangat memperjuangkan
pendidikan yang kisahnya ditulis dalam sebuah buku. I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the
Taliban adalah judul asli buku ini yang ditulis dalam bahasa Inggris. Namun
sebenarnya dalam buku ini, Malala lebih ingin dikenal dunia sebagai anak yang
berjuang untuk pendidikan dibandingkan sebagai anak perempuan yang ditembak
oleh Taliban. Pada Mei 2014, diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit
Mizan dengan judul I Am Malala: Menantang
Maut di Perbatasan Pakistan-Afganistan. Buku yang ditulis sendiri oleh
Malala Yousafzai bersama Christina Lamb (seorang jurnalis kawakan yang biasa
menulis mengenai Pakistan dan Afganistan) ini membahas tentang
perjuangan Malala, seorang anak perempuan muda Pakistan yang memperjuangkan hak
anak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Kisah Malala dalam buku ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu:
Sebelum Taliban, bagian dua: Lembah Kematian, bagian ketiga: Tiga Anak
Perempuan, Tiga Peluru, bagian keempat: Antara Hidup dan Mati, dan bagian kelima:
Kehidupan Kedua, kemudian ditutup dengan epilog dari Malala.
Malala Yousafzai lahir di Distrik (Lembah) Swat, Pakistan
pada tanggal 12 Juli 1997. Ayahnya bernama Ziauddin Yousafzai dan ibunya
bernama Tor Pekai Yousafzai. Ayahnya
merupakan orang yang gigih memperjuangkan pendidikan. Dengan penuh perjuangan, dia
mendirikan sekolah bernama Sekolah Khusnal. Walaupun Malala dilahirkan sebagai
anak perempuan yang saat itu dipandang lebih rendah haknya dibanding anak
laki-laki, ayah dan ibunya tidak pernah membedakan haknya. Ayahnya yang
demokratis dan kritis mendidik Malala untuk tidak takut memperjuangkan hak
pendidikan.
Buku ini menggambarkan
bagaimana dampak perang terutama menyangkut masa depan anak-anak. Di abad ke-21
ternyata belum semua orang merasakan kebebasan meraih pendidikan. Perang
perebutan kekuasaan antara militer Pakistan dan Taliban merenggut kebebasan
anak-anak untuk bersekolah terutama bagi anak-anak perempuan. Ketika
Pakistan dikuasai oleh Taliban, larangan untuk menempuh pendidikan bagi
anak-anak perempuan begitu gencar. Sekolah banyak dihancurkan dan terpaksa
ditutup. Nyawa anak-anak bahkan turut menjadi korban perang. Situasi lembah
Swat yang tadinya tenang semakin mencekam. Dentuman bom dan suara senapan dari
militer dan Taliban menjadi musik yang
menyeramkan. Walaupun di tengah ancaman dari Taliban, Malala dan Ayahnya tidak
gentar tetap menyuarakan kampanyenya baik melalui tulisan maupun lisan untuk
hak pendidikan bagi perempuan. Mereka pergi ke berbagai daerah untuk
memperjuangkan hak pendidikan. Mereka menulis di media masa, menjadi pembicara
di seminar-seminar, berdiskusi dengan berbagai tokoh.
Keberanian
Malala dianggap ancaman bagi Taliban. Malala dianggap terlalu sekuler dan tidak
mau menaati peraturan. Sebuah tragedi pun terjadi pada 9 Oktober 2012, Malala ditembak
militan Taliban saat sedang menaiki truk terbuka setelah pulang sekolah. Tiga
orang siswi sekolahnya menjadi korban termasuk Malala. Malala ketika itu tidak
sempat membela dirinya dan menjelaskan kepada militan Taliban itu karena kejadian
penembakan terjadi begitu cepat. Tembakan yang mengenai kepalanya membuat dia
kritis. Beruntungnya setelah melalui proses perawatan yang panjang hingga ia
harus dirawat di Birmingham, Malala berhasil diselamatkan dan kembali pulih. Ternyata
perjuangannya untuk pendidikan belum ditakdirkan berakhir dengan kejadian
penembakan tadi.
Malala
banyak pendapat penghargaan dari berbagai negara atas perjuangannya. Pada ulang
tahunnya yang keenam belas dia mendapat kesempatan untuk berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang dihadiri berbagai pemimpin negara. Dia mengajak pemimpin dunia untuk
memfasilitasi pendidikan gratis bagi anak-anak di dunia “Marilah kita mengambil
buku dan pena kita. Keduanya adalah senjata kita yang paling perkasa. Satu anak,
satu guru, dan satu pena bisa mengubah dunia”. Kata-kata tersebut menggugah hati banyak
orang.
Buku
setebal 384 halaman ini lebih banyak menceritakan kisah Malala ketika berada di
Pakistan mulai dari ia dilahirkan hingga peristiwa penembakan dirinya oleh
Taliban. Di bagian akhir diceritakan Malala akhirnya tinggal di Birmingham
untuk proses penyembuhan dan menempuh pendidikan. Dia juga mendapat kesempatan
nominasi penerima Nobel Perdamaian termuda. Buku ini dikisahkan secara runtut
sehingga nyaman untuk dibaca. Namun, sayangnya buku ini kurang menceritakan
perjuangan Malala setengah tinggal di Birmingham. Buku ini juga tidak memberi
keterangan bagaimana peran Malala dalam penulisan buku ini. Apakah dia menulis
sendiri beberapa bagian buku ini atau dia menceritakan kemudian Christian Lamb
menulisnya.
Buku
biografi Malala ini menarik dibaca terutama untuk perempuan muda. Keberanian
Malala untuk menyuarakan hak pendidikan anak-anak perempuan di Pakistan dan
dunia begitu menginspirasi dan layak ditiru. Pendidikan adalah hak bagi semua
orang untuk mengembangkan dirinya termasuk bagi kaum perempuan. Malala juga
sangat bersemangat untuk bersekolah di tengah ancaman yang terus datang. Ketika
membaca buku ini mengingatkan kita untuk mensyukuri bahwa saat ini kita hidup
di negara yang memberi kebebasan baik laki-laki maupun perempuan untuk menempuh
pendidikan setinggi-tingginya. Kesempatan untuk meraih pendidikan
setinggi-tingginya jangan dibuang begitu saja. Dengan pendidikan, kita
mempunyai senjata ilmu pengetahuan yang mampu merubah dunia ini menjadi lebih
baik. Bukan hanya untuk diri kita
sendiri namun juga untuk orang-orang di sekeliling kita.
Komentar
Posting Komentar